Orde baru adalah ordenya tentara yang dibuat oleh Pak Nasution kemudian dikembangkan oleh Ali Murtopo, Soeharto dan seterusnya. Tentara membuat kekuatan sosial politik dalam bentuk Golkar secara direct, indirect PDI dan PPP lewat fusi partai. Maka dalam proses pemilihan ketua harus disetujui tentara, seperti di PPP Buya Ismail Hasan Aceh, di PDI Megawati.
Orang Islam pernah mengalami trauma ketika perang Revolusi Hindia, Revolusi Kemerdekaan bangsa ini. Yakni ketika dibentuk batalyon – batalyon PETA (Pembela Tanah Air), dari 60 Daidancho (Komandan Batalyon Daidan), 27 adalah Kiai. Jepang menganggap bahwa saat itu umat Islam berjumlah kurang lebih 45%. Tentara ini mengalamami sanitasi akibat dari keputusan rasionalisasi oleh Kabinet Hatta. Dimana, Kabinet Hatta dengan dukungan kuat dari pihak PSI (kaum sosialis) dan pihak PNI (kaum nasionalis) memberlakukan sebuah peraturan. Dalam peraturan tersebut berisi bahwa komandan pada level kompi ke atas adalah mereka yang mempunyai ijazah sekolah. Termasuk Kiai Toifurrahman, Somangalangu, beliau adalah tokoh militer yang menguasai Banyumas, dan juga termasuk tentara yang tangguh, Sedangkan Pak Soeharto yang hanya tamat Hollandsch Inlandsche School (HIS) yakni sekolah Belanda untuk bumiputra yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda, akan tetapi Pak Soeharto bisa memperoleh Jabatan Komandan Resimen ketika penyerahan kedaulatan. Sedangkan Kiai Toifurrahman tidak menjadi apa – apa. Pada akhirnya beliau marah dan berontak dengan AUI di Somalangu, Kebumen dan akhirnya gugur dalam pertempuran. Dan parahnya, beliau dianggap sebagai penghianat bangsa.
Tentara yang berijazah ini merupakan didikan Barat, bersamaan dengan berkembangnya kelas Pamong Praja yang juga berpendidikan Barat. Sementara pada tahun 50-an itu kaum santri terlambat ikut, serta di awal tahun 60-an, muncul berbagai kelompok dari Fakultas Ekonomi dikirim ke berbagai Negara yang diikutkan dalam kerja sama dengan Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). Seskoad berisi tentara yang berijazah, bahkan ijazah mereka sudah diupgrade, dan generasi berikutnya dibikinkan sekolah. Mulai dari ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat), sampai kepada AMN (Akademi Maritim Nusantara) yang kemudian menjadi AKABRI dan kemudian berubah menjadi Akademi TNI yang terdiri dari Akmil, AAL dan AAU.
Hal ini berlanjut hingga awal tahun 70-an, lembaga – lembaga strategis dan lembaga kajian Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas). Mereka berpandangan bahwa agama adalah faktor pendukung bagi kehidupan masyarakat. Sehingga dianggap sebagai pendukung saja, dan tidak boleh berperan, sehingga agama hanya seolah-olah difungsikan ketika dibutuhkan fatwa. Hal ini merupakan bagian dari mereduksi peranan Kiai serta bagian dari proses sekularisasi masyarakat melalui penempatan agama hanya sebagai faktor penunjang atau support system. Itulah yang terjadi pada tahun 60-an hingga 70-an, dan masih berjalan sampai sekarang.
Akibat dari hal tersebut adalah bahwa institusi agama tidak perlu diberi tempat dalam politik, dan harus digusur. Bahkan tidak boleh menjadi kekuatan dan harus ditentang, diatasi dan ditaklukkan. Termasuk Nahdlatul Ulama dan bukan hanya Islam, termasuk semua pandangan – pandangan non etatis ( tidak serba negara), pandangan birokratis (masih mementingkan peranan masyarakat), semua harus dihabisi. Ini merupakan hasil dari koalisi teknokrasi dan birokrasi model lama tentang militer. Hal ini bisa dilihat ketika dalam Pemilu tahun 1971, satu satunya kekuatan yang bertahan adalah Nahdlatul Ulama. Partai lain seperti PARMUSI ( Partai Muslimin Indonesia ) hanya tinggal 24 kursi, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) hanya mendapat 2 kursi. Bahkan puluhan partai Islam sudah dihabisi.
Karena NU lah satu – satunya kekuatan Islam yang bertahan, maka cara terbaik adalah keutuhan dan kebulatan NU harus dilarutkan, harus dicampuri, dicairkan (water down). NU sebagai pertai politik saat itu, dan sebagai kekuatan politik yang bertampang institusi politik juga, yaitu Partai NU, harus dilarutkan. Akan tetapi mereka kesulitan memasukkan orang ke tubuh NU. Karena NU sudah menjadi kelompok yang eklusif. Dan untuk menjadi tokoh di NU paling tidak diseleksi melalui ucapan salamnya, kultur, keturunan, lulusan pondok apa, dan seterusnya. Dari situ mereka menemukan cara yaitu dengan menyeret NU masuk ke politik, tapi distop untuk tidak berpolitik. Itulah yang terjadi di PPP (Partai Persatuan Pembangunan). NU didorong ke arah politik namun ditakut takuti tidak mendapat tempat, menteri, dan lain – lain. Dan mereka kehilangan sumber – sumber dukungan finansial. Kaum petani kaya yang dahulu sebagai pendukung NU, sudah terganti oleh China yang menguasai petaninya. Sebagai contoh misalnya PETERMAS (Perhimpunan Petani Tebu Rakyat Malang Selatan) di Gondang Legi, sudah dihabisi sebagai kekuatan politik. Kemudian dimunculkan kelompok- kelompok baru di desa – desa yang umumnya terdiri dari pensiunan tentara PEPABRI (Persatuan Purnawiran dan Warakawuri) sebagai Ketua KUD. Dengan kata lain terjadi poverishasi / pemiskinan orang – orang NU. Hal ini juga terjadi di Muhammadiyah, sebagaimana dalam disertasi Mitsuo Nakamura tentang Muhammadiyah. Dimana Muhammadiyah diusir menjadi pegawai negeri yang bergantung pada pemerintah. Pengusaha Muhammadiyah dihancurkan oleh perkembangan tidak dengan sengaja. Terjadi penggusuran NU dan Muhammadiyah di bidang ekonomi, semua tidak mendapat tempat di bidang ekonomi. Kemudian hal ini menyebabkan kyai – kyai terpaksa berbondong – bondong masuk ke politik. Dan di politik, para kyai diadu terus menerus, dipermainkan hingga sekarang. Sebagai contoh Pak Idham Chalid diadu dengan Pak Yusuf Hasyim, Orang – orang pak Idham seperti Hamzah Haz diadu dengan Pak Matori di Muktamar PPP dan lain – lain. Ada yang bertahan, tetapi juga ada yang berkesimpulan untuk menjauh tidak ikut – ikut politik. Dengan kata lain, kekuatan politik NU di dalam institusi politik Islam yang bernama PPP sudah dihabiskan. Dan PPP dikuasai Buya Ismail Hasan Metareum ( HMI Aceh )yang merupakan perpanjangan tangan birokrasi. Di PDI pun juga terjadi hal yang sama, yakni terjadi marjinalisasi kelompok – kelompok asal yang dulu menjadi kekuatan PNI. Selain itu, pesantren juga ditarik lebih jauh dari akarnya, dengan cara perlahan diberi pinjaman koperasi yang kebijakannya ditentukan pemerintah.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran kekuasaan lebih jauh ke tangan pemerintah. Namun yang terjadi kekuatan Islam ini tidak bisa dimatikan tapi bisa dilemahkan. Lebih jauh lagi, muncul kebutuhan akan kekuatan politik Islam bukan institusinya. NU bukan institusi politik tapi kekuatan politik, kaum intelektual muslim misalnya tenaga pengajar di akademisi, birokrat, kaum profesi dan sebagainya adalah kekuatan politik. Maka dari itu Pak Soeharto mulai melirik kekuatan Islam.