slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Waliullah ini Pernah Menjadi Ketua di Tiga Partai Besar - Nusaba.id

Waliullah ini Pernah Menjadi Ketua di Tiga Partai Besar

Wali Allah dari Kalimantan Selatan ini pernah menjadi ketua di tiga Partai besar yakni Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

KH Idham Chalid

Wali Allah dari Kalimantan Selatan ini pernah menjadi ketua di tiga Partai besar yakni Partai Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan beliau pernah menjabat sebagai Ketua DPR/MPR , Wakil Perdana Menteri era pemerintahan Soekarno, Menteri Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Sosial pada era Soeharto, Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI. Selain itu, beliau juga merupakan Ketua Umum Tanfidzyiah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Beliau adalah seorang tokoh besar, pahlawan, ulama dan politisi yang tangguh. Tokoh ini diabadikan dalam uang kertas pecahan Lima ribu rupiah, yang diterbitkan Bank Indonesia. Beliau adalah Dr. (H.C.) KH. Idham Chalid.

Biografi Singkat KH. Idham Chalid
KH. Idham Chalid lahir di Satui, Kota Baru di bagian tenggara Kalimantan Selatan, pada tanggal 27 Agustus 1922. Ayah beliau merupakan salah satu pemuka agama bernama H. Muhammad Chalid. Beliau bersama keluarga pindah ke Amuntai dan di sanalah Idham masuk ke Sekolah Rakyat (SR). Beliau sangat cerdas dan berbakat, pandai berpidato. Kemudian Idham melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al Rasyidiyyah. Kemudian di tahun 1938 Idham masuk ke Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo dan menjadi santri selama kurang lebih 7 – 8 tahun. Tahun 1943 kemudian melanjutkan pendidikan di Jakarta kemudian kembali ke Gontor sebagai Guru. Beliau mahir dalam penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Serta kemampuan berbahasa Jepang bahkan bahasa Belanda pun beliau kuasai.

Sekilas pemikiran KH. Idham Chalid

KH. Idham Chalid merupakan Kyai dengan gaya politik yang nasionalis, agamis dan demokratis. Beliau sangat mengedepankan musyawarah mufakat, berpegang pada kesadaran untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kadilan sosial dan kemajemukan. Serta beliau tidak meninggalkan nilai – nilai Islam dalam berpolitik. Pendidikan di Pondok Gontor, pengalaman sebagai tokoh dan pimpinan di berbagai ormas Islam, lembaga eksekutif, legislatif dan lain – lain, sangat mempengaruhi pemikiran politiknya. Faktor keluarga dan lingkungan pertemenanan sangat mewarnai watak maupun pemikiran KH. Idham Chalid. Sebagai Ulama sekaligus politisi, beliau sangat visioner dalam perjuangannya di berbagai peranan mewujudkan kemaslahatan bagi umat maupun bangsa.

Sikapnya dalam berpolitik juga dipengaruhi oleh KH A. Wahab Chasbullah sebagai Rais Aam PBNU saat itu. Beliau menemani KH Wahab Chasbullah yang berperan ketika pisahnya NU dari Masyumi, serta ketika melakukan konsolidasi rutin ke berbagai cabang – cabang NU di berbagai tanah air. Di tahun 1952 beliau diangkat menjadi Sekjend partai, dan dua tahun kemudian terpilih sebagai wakil ketua. Dan di masa pemilu 1955 sebagai Ketua Lajnah Pemilihan Umum Nahdlatul Ulama. Dalam pemilu 1955, NU berhasil menempati urutan ketiga perolehan suara, serta mendapatkan 47 kursi. Ulama, Pesantren, Politisi, nampaknya merupakan tiga pilar bagi kekuatan NU saat itu. Sehingga, dengan perolehan yang meningkat di parleman, NU mempunyai pengaruh yang besar dalam penentuan Kabinet Ali Sastroamijoyo II. Terhitung 5 menteri diperoleh NU termasuk Wakil Perdana Menteri yang dijabat oleh KH Idham Chalid yang saat itu masih berusia 35 tahun.

Pada Mukatamar NU ke-21 di Medan, Sumater Utara tahun 1956, KH Idham Chalid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Kurang lebih beliau dipercaya selama delapan periode dalam memimpin NU hingga tahun 1984. Posisi KH Idham sangat vital pada kondisi politik saat itu. Beliau berpandangan bahwa Nahdlatul Ulama sebisa mungkin mampu menyesuaikan diri dengan iklim politik serta berbagai peristiwa terkait dengan perkembangan zaman bagi bangsa saat itu. Sikap PBNU saat itu mendukung Demokrasi Terpimpin. Dalam pandangan Kiai Wahab :” Demokrasi memang harus terpimpin, yaitu terpimpin oleh moral dan norma. Bersama beliau Kiai Idham Chalid mengajukan penjelasan mengenai pandangan Islam tentang demokrasi itu sendiri. Menurut beliau, suara mayoritas sebagainya disertai “haq” kebenaran dan “ahli” nya.

PBNU menilai bahwa tujuan partai hanya mampu tercapai lewat kehadiran NU dalam Dewan Nasional dan kabinet. Dengan itu NU akan mampu membatasi dan membendung pengaruh PKI terhadap Soekarno. Meskipun beberapa Kiai NU seperti KH Bisri Syamsuri, KH. Achmad Siddiq, KH. Muhammad Dachlan dan KH. Machrus Ali menentang langkah NU ketika bergabung di DPR GR bentukan Soekarno saat itu. Terdapat perbedaan cara pandang antara beberapa Kiai NU terhadap pandangan KH. A. Wahab Chasbullah dan KH Idham Chalid. Prinsip yang diambil Kiai Wahab, lebih baik melakukan perbaikan dari dalam. Beliau berdua berpandangan bahwa bagaimana nasib umat Islam apabila perundang – undangan yang berlaku akan dibuat oleh “orang lain”. Hal ini dilakukan pada dasarnya untuk mencegah timbulnya mudharat yang lebih besar daripada mencari kebalikan. Dalam kaidah Fiqh berbunyi Dar ul Mafasid Muqaddam ala jalb al – Masalih. Mudharat tersebut bahkan dinyatakan secara eksplisit :
1. Tempat yang disediakan bagi warga NU dapat diduduki oleh orang lain yang lebih membahayakan.
2. Kedudukan Partai NU sebagai oposisi belum disiapkan, akan bisa menjadi musibah yang tidak diharapkan

Dengan hal itu, Demokrasi Terpimpin akan sesuai dengan Islam apabila ada dua unsur yakni musyawarah yang menghargai pemimpin dan unsur pemimpin yang menghargai musyawarah. Meski demikian KH Idham masih berusaha memaknai konsep yang ditawarkan oleh Soekarno. Karena Demokrasi Terpimpin bisa berpotensi sebagai sumbu kepemimpinan yang bersifat diktator. Menurutnya Terpimpin dimaknai terpimpin oleh ahlinya, bukan oleh nafsu berkuasa manusia. KH. Idham mampu membawa NU menghadapi berbagai rintangan politik dan NU relatif stabil. Ijtihad politik NU memang unik, pada masa Demokrasi Terpimpin, NU dihadapakan pada dua macam ijtihad politik. Pertama pandangan bahwa umat Islam lebih baikmasuk ke dalam sistem demi kepentingan Islam, yang kedua berpandangan bahwa demi kepentingan Islam, maka harus melawan sistem. Jika NU tersudut dan di luar, kemungkinan yang terjadi adalah tidak ada ormas Islam besar lagi yang mampu mewarnai dan mempunyai andil besar dalam sistem politik. Sebagai contoh ketika HMI dilarang oleh PKI, NU membela dan akhirnya HMI selamat. NU mampu memainkan politiknya secara halus saat itu. Pemikiran KH. Idham Chalid mampu mewarnai NU menjadi kekuatan untuk kemanfaatan bagi bangsa maupun umat Islam. Bagi beliau Politik adalah seni pemerintahan dan pengendalian negara.