slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Sejarah Danau Rawa Pening Purba II - Nusaba.id
Indeks

Sejarah Danau Rawa Pening Purba II

Sejarah danau rawa pening zaman purba, hingga era kerajaan hingga pemerintah HIndia Belanda, serta fenomena alam dan cerita tutur tinular warga di Banyubiru.

Sejarah Rawa Pening memang menarik untuk dipelajari, Setelah penulis membuat posting mengenai sejarah rawa pening tahun 1850 – sekarang. Dalam posting kali ini, kami tertarik untuk membahas Danau Rawa Pening lebih dalam. Meskipun, penelitian ini memang dilakukan dengan segelintir orang, namun kami mencoba menyajikan tulisan yang memang didasarkan atas referensi dari berbagai pihak.

Tulisan ini adalah lanjutan dari posting pertama berjudul Rawa Pening Sejarah Singkat tahun 1850 – sekarang.

Seperti kita ketahui bersama bahwa Danau Rawa Pening memang teletak lebih dominan di Kecamatan Banyubiru. Dari peta tahun kolonial bisa kita lihat secara jelas perubahan dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan metode penelitian dengan analisis hermeneutik, memang dirasa kurang cukup. Untuk itu kami mencoba mempelajari dengan menambah analisa dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki, sehingga berbagai perubahan terkait ekologi Danau Rawa Pening, dapat kami susun menjadi sebuah tulisan ini.
Rawa Pening Besar merupakan daerah Danau Rawa Pening Sekarang ditambah area persawahan dan pemukiman di Banyubiru dan Ambarawa, dimana sebagian besar sudah berubah menjadi area persawahan dan pemukiman padat penduduk. Saya lebih nyaman menyebutnya “rawa pening purba”.

Rawa Pening Purba Dalam Sejarah
1. Analisa Historis Area yang Hilang di Lereng Gunung Kelir Wirogomo
Gunung Telomoyo merupakan gunung api purba yang pernah meletus, kami tidak bisa menyajikan secara detail kapan kejadian ini berlangsung. Namun dari kondisi geografi dapat kita lihat di sekitar gunung Telomoyo masih terlihat kondisi topografi yang berbeda dengan gunung lain di pulau Jawa.

Gunung atau bukit kecil yang masih ada seperti Gunung Gajah, Gunung Kendil, Gunung Kelir, Bukit Brawijaya Candi Dukuh, Gili Petung, seolah menunjukkan bahwa kawah utama bukan ada di puncak Gunung Telomoyo Sekarang. Kalau kita lihat di lereng Gunung Kelir, Wirogomo, maka akan jelas terlihat bahwa daerah ini sebagian hilang, dari alur aliran air, bisa kita lihat seolah-olah lereng ini seperti dinding kawah yang menghadap ke kawah utama. Kami menduga bahwa dahulu daerah ini pernah terjadi longsor besar yang kemudian material tanah dan pepohonan menutupi sebagian Danau Rawa Pening. Bahkan hingga sekarang daerah Banyubiru masih dikategorikan sebagai daerah rawan longsor. Sebagai contoh: Longsor disertai Banjir Besar Likasan (Sekarang dusun Kepil dan Bonwage /Kebumen) di Bulan Mei tahun 1930 yang menimbun 40 rumah, Longsor besar Batur Sepakung, Longsor di area Bungkah Sepakung, Longsor di alas Podang Karang Tegaron, dan longsor- longsor kecil di berbagai daerah di Banyubiru. Saya menduga area besar hilang yang ada di lereng kelir Wirogomo kemudian Longsor menutupi rawa pening purba ini, sekarang menjadi daerah Desa Banyubiru dan sawah. Kemudian memisahkan rawa pening yang sekarang dengan daerah barat daya. Bahkan di dusun dekat Jonggrangan Ngrapah, tepatnya di Timur Gadingan masih ada Rawa kecil. Orang setempat menyebutnya Balong Kempul/ Wetan Gadingan. Maka wajar kalau hari ini daerah tersebut sering terendam air pasang surut rawa pening. Pondasi yang dibuat tinggi dan lambat laun terjadi penurunan. Longsor besar ini kemudian turun menjadi daerah Banyubiru, sehingga aliran Sungai Klegong pun berbelok dari atas ke kiri kemudian menuju Sungai Torong dan menuju ke Danau Rawa Pening.

2. Analisa Catatan Historis Penemuan Kayu-Kayu di Danau Rawa Pening
Analisa yang lain yaitu, pada tahun 1850, Pemerintah Hindia Belanda mencatat di Danau Rawa Pening ini masih banyak pohon yang terkubur gambut. Di Danau Rawa Pening sendiri, mereka menulis bahwa banyak pohon atau kayu yang ketika danau surut, kayu kayu ini muncul. Bahkan masyarakat memanfaatkannya sebagai kayu bakar, dan juga Belanda pun memanfaatkannya untuk material Benteng Willem I di Ambarawa. Pemerintah Hindia Belanda menduga bahwa Danau Rawa Pening merupakan hutan yang tertutup gambut dan air, kemudian menjadi sebuah danau, dan lambat laun mulai sempit seiring dengan adanya pemukiman dan persawahan. Belanda mencatat rata – rata 180 kubik hasta kayu bakar telah diambil dari Rawa setiap bulan selama lebih dari 20 tahun. Penduduk menyebutnya kayu Apung, meskipun sebenarnya kayu – kayu tersebut terdiri dari beberapa jenis di antaranya:
1. Kayu Lestri
2. Kayu Dempul
3. Kayu Jati
4. Kayu Jambu Biji
5. Kayu Walang Kadak,

6. Kayu Trupang
7. Kayu Klapan
8. Kayu Bango
9. Kayu Pangang
10. Kayu Gangung

3. Gempa yang berangsur – angsur di Banyubiru dan Ambarawa
Sebagaimana kita ketahui bahwa di tahun 2021 daerah ini terjadi gempa swarm yang berangsur – angsur bahkan sehari bisa mencapai 6 hingga 32 kali gempa. Meskipun skala gempa tidak melebihi 3,2 Skala Righter, tetapi hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini ada aktivitas entah itu vulkanik atau mungkin tektonik. Di catatan sejarah, gempa yang hampir sama juga pernah terjadi di tahun 1849,1865,1866,1872,2014 dan 2021. Daerah ini terletak di Sesar Aktif Merapi Merbabu dan Sesar Rawa Pening. Di candi Dukuh terdapat 4 titik sumber air panas. Di tahun 1938, di tahun 1998, 1965, terjadi fenomena aneh, yakni munculnya sebuah pulau kecil di tengah rawa pening, banyak orang berspekulasi bahwa di bawa danau ada aktivitas gunung yang sewaktu waktu akan muncul. Orang setempat masih mengingatnya yakni ketika geger PKI dan lengsernya Soeharto, ditandai adanya tanah yang muncul ini yang kemudian tenggelam lagi selama seminggu. Di Tanggal 2 Januari 1845 Malam, juga demikian muncul fenomena tanah muncul ke atas di dekat Rawa Mayem (tepatnya ujung kali panjang, Sekarang sudah jadi rawa). Meskipun ada penelitian bahwa hal itu adalah aktivitas kimia. Di Tahun 1911 hingga 1938 terjadi perubahan besar yakni bedol desa. Kurang lebih 50-an desa berpindah karena adanya pembangunan PLTA Njelok Tuntang. Sehingga mau tidak mau desa harus berpindah agar tidak tenggelam. Catatan di atas menunjukkan bahwa daerah ini sangat mungkin terjadi perubahan besar dari zaman purba hingga sekarang.

4. Analisa Lain (Cerita dan Teks)
Pulau Jawa memang pulau yang memilik banyak Gunung. Meskipun daerah Banyubiru tidak memiliki sumber primer berupa prasasti, namun saya mencoba menyajikan cerita yang bersifat tutur tinular untuk memahami sejarah Danau Rawa Pening ini. Meskipun hal ini masih butuh penelitian yang masif. Prasasti terdekat yaitu ada di Salatiga : Prasasti Plumpungan tahun 700an , Prasasti Damalung (Slugur) Getasan 1200an, Prasasti Ngrawan (1200an)

Baru Klinting, Antaboga dan Serat Baru Klinting

Berbicara mengenai sejarah Rawa Pening, hari ini orang tidak akan lepas dari Legenda Baru Klinting yang menceritakan desa yang tenggelam akibat ulah dari warganya. Namun saya pribadi tertarik cerita lain selain Baru Klinting. Saya tertarik dengan kerajaan Malawapati yang beliau Prabu Angling Dharma menjadi Raja di Kerajaan ini. Digambarkan kerajaan Malawapati adalah sebuah kerajaan di pulau Jawa yang dikelilingi oleh gunung. Sepintas ketika mengikuti larung sesaji di malam 21 Suro, muncul nama Eyang Prabu, dan juga disitu sesaji yang diharuskan atas “dawuh”, salah satunya burung belibis putih/mliwis putih yang dapat kita lihat di Danau Rawa Pening tersebut. Karena kesulitan untuk ditangkap, bisa diganti dengan bebek jambul dengan catatan ketika membeli tidak boleh ditawar. Apakah ada kaitan bahwa mungkin daerah Banyubiru dan Rawa Pening ini dulunya adalah kerajaan Malawapati? atau mungkin kerajaan ini hilang tatkala terjadi banjir besar Raja Manu, atau mungkin banjir besar Nabi Nuh? Sulit memang untuk memahami itu, terlebih lagi aksara lama hari ini sudah tidak dipakai, sehingga sulit untuk membaca sejarah asli Nusantara Pulau Jawa. Belum lagi perubahan nama tempat, dan lain – lain misalnya Gunung Damalung menjadi Merbabu, Candra Geni menjadi Merapi, Suroloyo menjadi Telomoyo, Mahendra menjadi Lawu dan sebagainya. Sehingga untuk menguak sejarah masa lalu, saya hanya bisa menerka – nerka kebenarannya.
Peradaban di Danau Rawa Pening era medang kamulan memang sudah ada, terbukti di bukit kecil pinggir rawa pening di Desa Rowoboni terdapat sebuah candi Hindu Siwa, yaitu Candi Dukuh. Selain itu beberapa candi dan batu peninggalan juga ditemukan di daerah Rawa Pening dan Banyubiru misalnya di Karang Tegaron, Dusun Gilang, Tigorejo, Kalibeji, Nandi di Lembu Ngrapah, Gedong dan lain – lain.

Cerita di Era Kerajaan Paska Majapahit
Cerita lain yaitu danau rawa pening merupakan tempat penggemblengan Djoko Tingkir sebelum menjadi raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Mas Karebet kecil diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir Salatiga, kemudian beranjak dewasa menjadi Joko Tingkir dengan berguru kepada Ki Buyut Banyubiru. Oleh Gurunya, Joko Tingkir diperintah untuk “kungkum” di Rawa Pening. Berendam, bertapa di Rawa Pening untuk memperoleh ilmu rasa dan jaya kawijayan.
Dan sekarang daerah Banyubiru masih disebut Perdikan, yaitu hadiah dari Kerajaan Demak atas jasa tokoh yang berjuang dan berperan terhadap kerajaan. Saya tidak tahu detail siapakah sosok yang dimaksud, apakah Simbah Suro Dipoyono, Ki Buyut Banyubiru, Lembu Suro yang diberi tanah pimingit (sekarang Pingit), Gajah Suro diberi tanah Banyubiru, atau mungkin wali Tegaron. Dan terkadang dari Keraton Solo pun juga masih caos sesaji di Danau Rawa Pening ini, terakhir dilakukan Gusti Ratu Mas dan Gusti Ratu Alit bersama sedulur bonorowo.

Dan sekarang di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, akan terjadi lagi perubahan besar Danau Rawa Pening melalui proyek strategis Nasional Revitalisasi Rawa Pening, oleh Kementrian PUPR dan BBWS Pemali Juana.

Sekian tulisan ini saya buat yang mungkin masih banyak kekurangan. Tidak mudah memang memahami sejarah Rawa Pening hingga menjadi danau yang seperti sekarang ini. Mohon maaf apabila terjadi kesalahan yang tentunya tidak saya sengaja, Bogi Subasti (warga Rawa Pening).

Penulis: Bogi SubastiEditor: Nusaba ID
Exit mobile version